Fuji: Oase Bagi Para Penghindar Bingar

fuji-shi 4

Pagi menuju kantor, saya selalu melalui kegiatan ini: dibonceng naik motor, turun dan sambung naik angkot, turun di stasiun dan naik KRL, melewati 10 stasiun, naik jembatan penyebrangan, menunggu busway, naik busway, dan turun setelah empat pemberhentian. Berulang setiap harinya, kecuali untuk beberapa okasi seperti terlambat bangun, motor dipakai, atau busway terlalu lama; saya harus naik ojek.

Di semua kegiatan itu tentu saya banyak bertemu orang. Dan banyak diantaranya yang selalu bawel sekaligus bersuara lantang, dan saya lebih banyak keselnya daripada nerima nasibnya.

Di KRL, saya sudah hafal beberapa wajah ibu-ibu yang biasa ribut di gerbong wanita. Pernah suatu kali mereka duduk di sebelah saya. Kepala pusing luar biasa. Mereka ngobrol kayak lagi di rumah sendiri. Nggak peduli orang lain lagi sakit, capek semalem abis begadang, konsentrasi baca buku, atau pada orang yang emang pada dasarnya suka gampang kesel aja sama yang ribut-ribut berlebih menyimpang batas; kayak saya. Suatu hari, saya lihat salah satu ibu duduk di depan saya, takut hidup nggak tenang, saya pindah. Di stasiun berikutnya ibu satu lagi masuk, dan berdiri depan saya. Suaranya lantang kayak petugas upacara. Topiknya beragam, selalu ada aja yang bisa ia bahas, bicara nggak berhenti-henti, kayak anak kecil yang kebanyakan makan gula. Mau nangis, tapi nggak mungkin.

Di busway ceritanya beda lagi. Nggak sering rame, sih, tapi pernah suatu hari bapak supir nyalain lagu sambil berdendang. Seneng sih, si bapak kayaknya moodnya lagi bagus, tapi saya jadi susah konsentrasi baca buku. Sekali kalimat, bapaknya nyanyi, saya jadi ikut nyanyi dalam hati, dan gagal paham kalimat apa yang barusan saya baca. Begitu terus, sampai akhirnya saya menutup buku dan ikut nyanyi aja.

Perjalanan menuju kantor aja udah begitu hebohnya, belom pulang. Ini mungkin mengapa di satu titik saya merasa Kota Fuji cocok untuk saya. Di titik lain saya merasa Fuji passionless, hambar, mati, dan mencekam, tapi di sisi lain ia seperti pemberhentian yang tepat untuk menikmati ‘kematian’. Keheningan. Banyak waktu dimana memang hening itu menyulitkan, tapi kadang ia dirindukan seperti matahari di tengah hujan badai. Hangat dan bervitamin. Tenang dan (mungkin di poin-poin tertentu) terasa jadi menyegarkan.

Itu lah yang saya dapatkan di sebagian perjalanan saya di Fuji. Saat bersepedah menyusuri dusun kecil ini, dengan ontel pinjaman, hembusan angin yang menyergap rusuk tanpa ampun, coat, sarung tangan, syal, beanie, semua siaga, namun dinginnya masih menghujam. Pemandangan yang kosong, jalanan yang kosong, kegiatan manusia yang minim dan pasif. Sepi sendu yang entah mengapa di suatu sudut hati malah terasa begitu menghangatkan.

fuji-shi 2

fuji-shi 1

Di malam pertama saya dan temen-temen di Fuji, kami naik bis menuju satu-satunya mall di sana; Aeon Mall. Yang disebut bis ternyata lebih mirip mobil travel Cipaganti Jakarta-Bandung. Di dalam sepi banget kayak lagi di masjid. Bahkan saya ngobrol sama temen di sebelah sambil bisik-bisik. Saat bis jalan, kanan kiri jalanan sudah sepi. Lampu toko sudah padam. Tidak banyak orang lalu lalang, mungkin karena udara yang hari itu dingin juga. Pulang dari Aeon, kami agak berisik di bis, lalu seorang pria berdeham penuh kode.

Besokannya kami makan di restoran cina. Dari satu restoran yang heboh ngobrol kayaknya rombongan kita doang.

fuji-shi 3

fuji-shi 5

Pagi ini saya melalui pagi yang sangat ribut. Penuh suara dari mana-mana. Suara obrolan, knalpot, klakson, musik, teriakan, bersin, deham yang berulang, senandung supir, keyboard, pluit penjaga kereta, roda kereta, kipas angin, sirene polisi, ibu-ibu petugas upacara.

Saat itu lah saya rindu Kota Fuji.

Dengan segala ‘kematian’nya, ‘dingin’nya, sepinya, lengangnya, passionlessnya, hambarnya. Bukan pemandangan gunung Fujinya, bukan Jumble Storenya, bukan lezat nasi goreng cinanya, bukan susu segarnya, bukan sereal gandum cokelatnya, tapi semua yang terlalu damai nyerempet mencekamnya.

Yuna

Tinggalkan komentar